Meski tampak
tenang kadang lautan Lombok menampakkan sisi “ganas” sehingga membuat
orang yang berada di tengahnya terombang-ambing. Pengalaman tersebut saya
rasakan ketika pulang dari Gili Trawangan menuju Senggigi, Lombok Tengah.
Sebelumnya, saat penyeberangan dari Pantai Senggigi ke Gili Trawangan perjalanan dengan
perahu motor terasa aman-aman saja. Pada jam 10.00 Waktu Indonesia Tengah
(WITA) laut terasa tenang, ombak tak bergolak, saya begitu menikmati perjalanan
dengan terus menyaksikan keindahan air laut berwarna biru tua itu.
Sesekali
memandangi keindahan bukit-bukit dan batu cadas dari kejauhan yang posisnya
berada ditepi laut, sehingga terasa kontras. Begitu juga dengan barisan pohon
kelapa yang menjulang tinggi dan resort-resort eksotis, berupa rumah jerami
yang mengadaptasi rumah adat Suku Sasak. Indahnya pemandangan membuat saya dan
rekan lainnya dalam perahu motor saat itu tidak henti mengabadikannya dalam
jepretan kamera dan rekaman video.
Namun tidak
demikian saat saya dan rombongan bertolak dari Gili Trawangan pada jam 16.00
WITA Berbeda dengan kedatangan sebelumnya, saat pulang kami mendapat perahu
motor yang ukurannya lebih kecil. Hanya tujuh orang dalam perahu, satu diantaranya
merupakan warga setempat yang mengemudikan perahu kami.
Dengan
menggunakan perahu motor lama penyeberangan hampir dua jam, namun baru mencapai
menit ke-10 kami mulai merasakan goyangan dan semakin lama goyangan semakin kencang,
air lautpun menerpa kami. Sepercik, dua percik, tiga percik, kemudian mulut
terasa asin, air laut menerpa muka kami. Saya menyeka muka dengan saputangan
karena air laut dipe lupuk mata, perih.
Goyangan
semakin kencang, suara mesin perahu kini terdengar samar-samar dikalahkan
kencangnya hempasan air dan degupan jantung. Ingat jalan cerita film Titanic,
terlebih kami tidak bisa berenang. Namun pengemudi tampaknya menikmati
kecemasan kami, sehingga ia memacu perahu semakin kencang, menumbur tingginya
ombak. Saya memejamkan mata dan terdengar suara “cas...cas...cas...” air laut masuk
ke dalam perah, baju kami basah, celana kami basah. Dingin.
Seorang teman
yang posisinya dibagian depan perahu, Intan, berteriak “Ini nggak apa-apa Bang?
Aman kan?” ujarnya menghardik kenekatan
sang pengemudi. “Aman” ujar pengemudi itu datar, seraya mematikan mesin perahu
agar tak melawan ombak. Akhirnya ia sadar kami tak suka dipermaikan adrenalin. Kami
berhenti disitu, di tengah laut biru. Hanya laut biru. Tetesan air kembali
terasa, kali ini jatuhnya dari langit. Hujan. Lengkaplah sudah.
Kami pun menyimpan barang-barang berharga agar tidak kebasahan. Padahal awalnya ingin mengabadikan
moment itu dalam rekaman video, namun terlalu beresiko. Saya pun
memastikan kamare DSLR dan handycame
aman didalam tas ransel yang saya bawa.
Karena masih tersisa sedikit ruang didalam tas ransel itu teman-teman lainnya
ikut mamasukan dompet, ponsel dan kemera. Namun, tidak semuanya bisa tertampung
satu rekan saya memanfaatkan plastik rujak yang tadinya saya beli di Gili
Trawangan. Rujak yang tersisia harus ditumpahkan.
Mesin perahu
kembali menderu, perjalanan berlanjut. Air laut biru kembali memercik, hujan
pun terus menetes. Serasa beku. Hening. Masing-masing terpaku pada satu sisi,
tepi Pantai Senggigi. Namun hanya terlihat hamparan lautan biru, mesin pun terus
menderu. (Etri Hayati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar