Enggano yang merupakan pulau terluar yang
masuk wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, memiliki
keindahan alam yang memesona. Sebagai orang Bengkulu saya memang sangat
penasaran pada pulau tersebut, sehingga sedikit nekad untuk bertandang meski
curi-curi waktu meninggalkan pekerjaan. Saya pertama kali tiba di Enggano pada
16 Agustus 2013 lalu. Saat itu saya tidak sendirian, karena ditemani sahabat,
Kak Long, beserta adik saya, Rini.
Petualangan saya ke Enggano ini dimulai
dengan menaiki Kapal Ferry KMP Pulo Tello yang dikelola oleh PT. Angkutan
Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Fery
Cabang Bengkulu. Menurut kami perjalanan dengan kapal Ferry adalah
pilihan terbaik dibanding menggunakan pesawat. Pertama, lebih ekonomis karena biayanya
jauh lebih murah dibanding naik pesawat. Kedua, kami bisa membawa barang yang
lebih banyak termasuk dua sepeda motor. Space kapal ferry ini cukup luas dan
mampu membawa kendaraan seperti sepeda motor, mobil, truk hingga alat berat.
Suasana persiapan sebelum pemberangkatan
Kami bertolak dari dermaga khusus ASDP di pelabuhan Pulau Baai pada jam 17.00 WIB. Diawal
perjalanan terasa tenang, namun karena tingginya gelombang laut kapal mulai
bergoyang. Saya bahkan sempat dehidrasi, akibat kekurangan cairan sebagai
dampak mabuk laut. Maklum saja saat itu adalah musim angin tenggara, sehingga
kapal harus melawan arus saat pelayaran. Ditambah tingginya ombak yang mencapai
lima meter.
Saat kapal mulai meninggalkan dermaga
Dalam perjalanan kapal bergoyang tak
henti, penumpang pun sempoyongan. Perut saya berasa diaduk dan akhirnya terjadilah
hal yang tidak diinginkan itu hahaha. Saya memang belum terbiasa naik kapal
laut, perjalanan laut pertama kali saat penyeberangan dari Pelabuhan Boombaru
Palembang ke Pulau Bangka dan Belitung. Namun kondisi laut disana sangat
berbeda dengan laut Bengkulu dan tidak membuat saya mabuk.
Cuaca buruk mengakibatkan perjalanan
menjadi lama. Perlu diketahui, Kota Bengkulu – Pulau Enggano berjarak 90 mil
laut atau sekitar 145 kilometer. Pada keadaan normal perjalanan dapat ditempuh
dalam waktu sembilan hingga sepulih jam, namun kala itu perjanan kami
menjadi 17 jam. Untungnya kapal ini juga memiliki tempat
tidur sehingga saya bisa rebahan dengan nyaman dan mengurangi rasa pusing.
Tersedia tempat tidur nyaman bagi penumpang
Saat tiba di Pelabuhan Kahyapu sekitar jam
10.00 WIB. Badan terasa begitu lemas dan saya belum beranjak dari kapal.
Padahal penumpang lain telah turun dan mengemasi barang-barang
mereka. Tidak lama kemudian muncul seorang teman, Sahat namanya. Dia
adalah penduduk asli Enggano. Sahat membantu kami mengemasi barang-barang
hingga mengeluarkan motor dari dalam kapal.
Dari pelabuhan kami singgah sesaat di
Pondok Rimba untuk memulihkan tenaga dan makan siang, walaupun hanya
mie instan. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Desa Malakoni sekitar jam
14.00 WIB dengan sepeda motor. Saat itu kondisi saya belum begitu
pulih, namun masih bisa mengendarai sepeda motor. Kami melewati jalan
alternatif tepat di bibir pantai, sebab jalan utama tidak dapat
dilewati kerena berlumpur.
Tiba di Malakoni sekitar jam 15.00
WIB, Sahat membawa kami ke rumahnya, disana telah menunggu ayah
dan ibunya. Pak Johansen Kaarubi begitu baik hati dan
mengizinkan kami menginap di rumahnya. Pak Johansen
merupakan Ketua Suku Kaudara Abobo yang merupakan Kepala Pintu dari suku
Kaarubi.
Bahagia akhirnya bisa menginjakan kaki di Enggano
Melihat keadaan kami, ibu
Johansen langsung menanyakan kondisi kami. Saya jelaskan kalau saya
masih merasa pusing dan perut terasa kurang nyaman, begitu pun dengan adik
saya. Tidak lama kemudian dengan senang hati ibu Johansen memijit bagian
pundakku, ajaibnya tidak lama kemudian badan menjadi fit seperti semula dan
kami pun berlari-larian ke lapangan desa untuk mengikuti upacara penurunan
bendera 17 Agustus. Disana kami bertemu kru ASDP yang juga mengikuti upacara. Saya
baru tahu ternyata setiap Hari Ulang Tahun Republik Indonesia semua kru ASDP
mengikuti upacara di pulau terluar Indonesia.
Upacara bendera 17 Agustus
Foto bersama kru ASDP Cabang Bengkulu
Masyarakat Adat Enggano
Rumah Adat
Pantai enuh Serpihan Terumbu Karang
Pantai Malakoni berada hanya beberapa
meter dari Pelabuhan Perintis di Desa Malakoni. Jika biasanya pantai dipenuhi
pasir, maka tidak demikian dengan Pantai Malakoni. Karena di sepanjang pantai
dipenuhi serpihan terumbu karang yang terbawa ombak. Jika berkunjung ke pantai
ini disarankan untuk memakai alas kaki yang memadai, sebab hamparan terumbu
karang di bibir pantai keras dan tajam, sehingga dapat melukai telapak kaki. Pantai Malakoni kaya akan hasil laut
berupa ikan dan hewan laut lainnya seperti kepiting, lobster dan beberapa
moluska. Selain sebagai sarana rekreasi, kawasan tersebut juga merupakan tempat
para nelayan mencari ikan. Sayangnya, hingga saat ini objek wisata itu belum
dikelola maksimal oleh pemerintah, sehingga keeksotisan pantai ini belum begitu
dikenal masyarakat.
Menunggu sunset di pantai Malakoni
Ketika kami sibuk berfoto dan menikmati
keindahan pantai, Sahat malah sibuk dengan tombaknya. Ia mendapatkan ikan
dengan cara tradisonal, hanya dengan beberapa tombakan ia berhasil mendapatkan
hampir dua kilogram ikan dan lobster. Hasil perburuan Sahat kami masak sebagai
menu makan malam. Rasanya sungguh berbeda dengan ikan dan lobster yang kita
temui di pasar, hasil tangkapan yang langsung dimasak rasanya jauh lebih segar
dan manis.
Ikan dan lobster hasil tangkatan Sahat
Seru-seruan di Bakblau
Selain Pantai Malakoni, kami juga sempat
menikmati keindahan Bakbalu di Desa Meok. Untuk mencapai lokasi kami harus
melewati desa Apoho yang dapat ditempuh sekitar 15 menit dari desa Malakoni. Menurut bahasa setempat Bakblau diartikan sebagai dermaga berwarna
hijau kebiru-biruan. Lokasi wisata itu memang agak tersembunyi, karena belum
ada penunjuk arah. Meski demikian dapat ditanyakan langsung pada
penduduk.
Untuk mencapai lokasi itu pemerintah
setempat telah menyediakan jalan penghubung berupa pengerasan, hingga sepeda
motor dapat dibawa serta ke tepi dermaga. Dari kejauhan panorama indah Bakblau
pun mulai tampak, meski agak seram namun objek wisata itu tetap menyita
perhatian.
Kondisi jalan di Desa Meok
Menurut cerita pak Johansen,
kerap kali ada warga yang menemukan buaya di Bakblau. Meski demikian buaya
tersebut tidak akan mengganggu pengunjung, bila pengunjung tidak berbuat
kesalahan. Karenanya, pengunjung diharapkan tidak melakukan perbuatan tidak
terpuji termasuk berkata sombong atau kotor saat berada disana.
Jatuh cinta pada Bakblau
Meski berwarna hijau kebiru-biruan bila
didekati air Bakblau sangat jernih dan dihuni ikan kecil warna-warni. Saat itu
pun ada seorang warga yang mengambil hasil tanggakapan dari perangkap ikan
miliknya. Tepi Bakblau banyak ditumbuhi bakau, pohon nipah maupun
spesies pandan, yang dapat dijadikan anyaman tikar
Kebun dan Anggrek
Hari berikutnya pak Johansen melakukan
aktivitas seperti biasa, ia memiliki sebidang kebun coklat berjarak sekitar dua
kilometer dari rumahnya. Sebelumnya pak Johansen tidak berkenan kami ikut
serta, sebab menurutnya untuk sampai ke kebun harus melewati hutan dan semak
belukar, banyak nyamuk dan pacat. Namun karena kami tidak mempermasalahkannya
beliau pun berkenan mengajak kami. Beruntung kami tidak menemukan pacat,
namun nyamuk yang berdengung di telingan memang cukup mengganggu, terlebih saat
terkena gigitannya.
Tiba di kebun pak Johansen bergegas
memangkas dahan pohon coklat miliknya. Menurutnya bila terlalu rimbun coklat
tidak dapat tumbuh dengan baik dan kualitas buahnya pun menurun. Pak Johansen
yang juga penyuka anggrek itu juga menunjukkan bibit anggrek bulan yang banyak
tumbuh di kebunnya.
Kami berada di Enggano selama lima
hari, kami pulang setelah kapal Pulo Tello kembali bersandar di pelabuhan
Kahyapu. Kedatangan kapal dapat diketahui dari suara sirene yang melengking
hingga ke kantor desa. Keberadaan kapal Ferry Pulo Tello sangat membantu warga Enggano, selain sebagai transportasi PP menuju
pulau terluar, kapal ini juga membantu mengangkut hasil bumi yang melimpah. Salah
satunya pisang kepok yang menjadi salah satu komoditi andalan di pulau ini yang
kemudian dipasok ke berbagai daerah, seperti Sumatera Selatan, Jambi, Lampung
hingga pulau Jawa.
Pisang kepok Enggano diangkut oleh kapal Ferry
Setelah perjalanan pertama ke Enggano di
tahun 2013 itu, saya kemudian sering berkunjung kesana untuk eksplore lebih
banyak. Saya bahkan melakukan perjalanan seorang diri dengan mengandalkan KMP
Pulo Tello karena asyiknya naik Ferry https://www.indonesiaferry.co.id/promo. Saya yakin perjalanan dengan kapal ASDP
ini memberikan rasa aman, nyaman dan lebih ekonomis. Dalam seminggu kapal ini
melayani empat kali penyeberangan, yakni Selasa dan Jumat sore dari Kota
Bengkulu menuju pulau Enggano sedangkan Rabu dan Sabtu sore untuk penyebarangan
dari Enggano ke Kota Bengkulu. (Etri Hayati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar