Rabu, 20 Juni 2018

Eksplore Enggano Bersama ASDP


Enggano yang merupakan pulau terluar yang masuk wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu,  memiliki keindahan alam yang memesona.  Sebagai orang Bengkulu saya memang sangat penasaran pada pulau tersebut, sehingga sedikit nekad untuk bertandang meski curi-curi waktu meninggalkan pekerjaan. Saya pertama kali tiba di Enggano pada 16 Agustus 2013 lalu. Saat itu saya tidak sendirian, karena ditemani sahabat, Kak Long, beserta adik saya, Rini.

Petualangan saya ke Enggano ini dimulai dengan menaiki Kapal Ferry KMP Pulo Tello yang dikelola oleh PT. Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Fery Cabang  Bengkulu. Menurut kami perjalanan dengan kapal Ferry adalah pilihan terbaik dibanding menggunakan pesawat. Pertama, lebih ekonomis karena biayanya jauh lebih murah dibanding naik pesawat. Kedua, kami bisa membawa barang yang lebih banyak termasuk dua sepeda motor. Space kapal ferry ini cukup luas dan mampu membawa kendaraan seperti sepeda motor, mobil, truk hingga alat berat.




Suasana persiapan sebelum pemberangkatan


Kami bertolak dari dermaga khusus ASDP di  pelabuhan Pulau Baai pada jam 17.00 WIB. Diawal perjalanan terasa tenang, namun karena tingginya gelombang laut kapal mulai bergoyang. Saya bahkan sempat dehidrasi, akibat kekurangan cairan sebagai dampak mabuk laut. Maklum saja saat itu adalah musim angin tenggara, sehingga kapal harus melawan arus saat pelayaran. Ditambah tingginya ombak yang mencapai lima meter.



Saat kapal mulai meninggalkan dermaga

Dalam perjalanan kapal bergoyang tak henti, penumpang pun sempoyongan. Perut saya berasa diaduk dan akhirnya terjadilah hal yang tidak diinginkan itu hahaha. Saya memang belum terbiasa naik kapal laut, perjalanan laut pertama kali saat penyeberangan dari Pelabuhan Boombaru Palembang ke Pulau Bangka dan Belitung. Namun kondisi laut disana sangat berbeda dengan laut Bengkulu dan tidak membuat saya mabuk.

Cuaca buruk mengakibatkan perjalanan menjadi lama. Perlu diketahui, Kota Bengkulu – Pulau Enggano berjarak 90 mil laut atau sekitar 145 kilometer. Pada keadaan normal perjalanan dapat ditempuh dalam waktu sembilan hingga sepulih jam, namun kala itu perjanan kami menjadi  17 jam.  Untungnya kapal ini juga memiliki tempat tidur sehingga saya bisa rebahan dengan nyaman dan mengurangi rasa pusing.

Tersedia tempat tidur nyaman bagi penumpang

Saat tiba di Pelabuhan Kahyapu sekitar jam 10.00 WIB. Badan terasa begitu lemas dan saya belum beranjak dari kapal. Padahal penumpang lain telah turun dan mengemasi barang-barang mereka. Tidak lama kemudian muncul seorang teman, Sahat namanya. Dia adalah penduduk asli Enggano. Sahat membantu kami mengemasi barang-barang hingga mengeluarkan motor dari dalam kapal.

Dari pelabuhan kami singgah sesaat di Pondok Rimba untuk memulihkan tenaga dan makan  siang, walaupun hanya mie instan. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Desa Malakoni sekitar jam 14.00 WIB dengan sepeda motor.  Saat itu kondisi saya belum begitu pulih, namun masih bisa mengendarai sepeda motor. Kami melewati jalan alternatif tepat di bibir pantai, sebab jalan utama tidak dapat dilewati  kerena berlumpur.

Jalan berlumpur menuju Desa Malakoni

 Jalan alternatif itu hanya hamparan pasir. Sebelum melewati jalan tersebut harus melihat arus pasang-surut terlebih dahulu, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Dalam keadaan normal dari pelabuhan Kahyapu ke Desa Malakoni biasanya dapat ditempuh dalam waktu 30 menit, karena melewati jalan alternatif waktu yang diperlukan sekitar satu jam.  Dengan kondisi jalan yang  belum maksimal, disarankan agar sebelum memutuskan berkunjung ke Enggano harus memilih waktu berkunjung pada musim panas. Alasan utamanya agar tidak terjebak lumpur.

Tiba di Malakoni sekitar jam 15.00 WIB,  Sahat membawa kami ke rumahnya, disana telah menunggu ayah dan  ibunya. Pak  Johansen Kaarubi begitu baik hati dan mengizinkan kami menginap di rumahnya. Pak Johansen merupakan Ketua Suku Kaudara Abobo yang merupakan Kepala Pintu dari suku Kaarubi. 

Bahagia akhirnya bisa menginjakan kaki di Enggano


Melihat keadaan kami,  ibu Johansen langsung menanyakan kondisi kami.  Saya jelaskan kalau saya masih merasa pusing dan perut terasa kurang nyaman, begitu pun dengan adik saya. Tidak lama kemudian dengan senang hati ibu Johansen memijit bagian pundakku, ajaibnya tidak lama kemudian badan menjadi fit seperti semula dan kami pun berlari-larian ke lapangan desa untuk mengikuti upacara penurunan bendera 17 Agustus. Disana kami bertemu kru ASDP yang juga mengikuti upacara. Saya baru tahu ternyata setiap Hari Ulang Tahun Republik Indonesia semua kru ASDP mengikuti upacara di pulau terluar Indonesia.

Upacara bendera 17 Agustus 


Foto bersama kru ASDP Cabang Bengkulu 


Masyarakat Adat Enggano

  Di Enggano terdapat enam suku, lima diantaranya adalah suku asli, meliputi Suku Ka’uno, Kaitora, Ka’ahua, Kaarubi dan Kaaruba. Sedangkan satu suku lainnya adalah suku yang diperuntukkan bagi masyarakat pendatang yang menetap disana, yakni Suku Ka’amay. Masyarakat Enggano dikenal sangat ramah dan terbuka pada pendatang. Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Enggano menggunakan bahasa Enggano, namun mereka juga dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.


Rumah Adat


Pantai enuh Serpihan Terumbu Karang
Pantai Malakoni berada hanya beberapa meter dari Pelabuhan Perintis di Desa Malakoni. Jika biasanya pantai dipenuhi pasir, maka tidak demikian dengan Pantai Malakoni. Karena di sepanjang pantai dipenuhi serpihan terumbu karang yang terbawa ombak. Jika berkunjung ke pantai ini disarankan untuk memakai alas kaki yang memadai, sebab hamparan terumbu karang di bibir pantai keras dan tajam, sehingga dapat melukai telapak kaki. Pantai Malakoni kaya akan hasil laut berupa ikan dan hewan laut lainnya seperti kepiting, lobster dan beberapa moluska. Selain sebagai sarana rekreasi, kawasan tersebut juga merupakan tempat para nelayan mencari ikan. Sayangnya, hingga saat ini objek wisata itu belum dikelola maksimal oleh pemerintah, sehingga keeksotisan pantai ini belum begitu dikenal masyarakat.
  



Menunggu sunset di pantai Malakoni


Ketika kami sibuk berfoto dan menikmati keindahan pantai, Sahat malah sibuk dengan tombaknya. Ia mendapatkan ikan dengan cara tradisonal, hanya dengan beberapa tombakan ia berhasil mendapatkan hampir dua kilogram ikan dan lobster. Hasil perburuan Sahat kami masak sebagai menu makan malam. Rasanya sungguh berbeda dengan ikan dan lobster yang kita temui di pasar, hasil tangkapan yang langsung dimasak rasanya jauh lebih segar dan manis.





Ikan dan lobster hasil tangkatan Sahat


Seru-seruan di Bakblau 
 Selain Pantai Malakoni, kami juga sempat menikmati keindahan Bakbalu di Desa Meok. Untuk mencapai lokasi kami harus melewati desa Apoho yang dapat ditempuh sekitar 15 menit dari desa Malakoni.  Menurut bahasa setempat  Bakblau diartikan sebagai dermaga berwarna hijau kebiru-biruan. Lokasi wisata itu memang agak tersembunyi, karena belum ada penunjuk arah. Meski demikian dapat ditanyakan langsung pada penduduk. 

 Untuk mencapai lokasi itu pemerintah setempat telah menyediakan jalan penghubung berupa pengerasan, hingga sepeda motor dapat dibawa serta ke tepi dermaga. Dari kejauhan panorama indah Bakblau pun mulai tampak, meski agak seram namun objek wisata itu tetap menyita perhatian. 

Kondisi jalan di Desa Meok



Menurut  cerita pak Johansen, kerap kali ada warga yang menemukan buaya di Bakblau. Meski demikian buaya tersebut tidak akan mengganggu pengunjung, bila pengunjung tidak berbuat kesalahan. Karenanya, pengunjung diharapkan tidak melakukan perbuatan tidak terpuji termasuk berkata sombong atau kotor saat berada disana.


Jatuh cinta pada Bakblau


Meski berwarna hijau kebiru-biruan bila didekati air Bakblau sangat jernih dan dihuni ikan kecil warna-warni. Saat itu pun ada seorang warga yang mengambil hasil tanggakapan dari perangkap ikan miliknya.  Tepi Bakblau banyak ditumbuhi bakau, pohon nipah maupun spesies pandan, yang dapat dijadikan anyaman tikar



 Kebun dan Anggrek

Hari berikutnya pak Johansen melakukan aktivitas seperti biasa, ia memiliki sebidang kebun coklat berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya. Sebelumnya pak Johansen tidak berkenan kami ikut serta, sebab menurutnya untuk sampai ke kebun harus melewati hutan dan semak belukar, banyak nyamuk dan pacat. Namun karena kami tidak mempermasalahkannya beliau pun berkenan mengajak kami. Beruntung kami tidak menemukan pacat, namun nyamuk yang berdengung di telingan memang cukup mengganggu, terlebih saat terkena gigitannya. 

Tiba di kebun pak Johansen bergegas memangkas dahan pohon coklat miliknya. Menurutnya bila terlalu rimbun coklat tidak dapat tumbuh dengan baik dan kualitas buahnya pun menurun. Pak Johansen yang juga penyuka anggrek itu juga menunjukkan bibit anggrek bulan yang banyak tumbuh di kebunnya. 

Saat berteduh di kebun Pak Johansen

 Kami berada di Enggano selama lima hari, kami pulang setelah kapal Pulo Tello kembali bersandar di pelabuhan Kahyapu. Kedatangan kapal dapat diketahui dari suara sirene yang melengking hingga ke kantor desa. Keberadaan kapal Ferry Pulo Tello sangat membantu warga Enggano, selain sebagai transportasi PP menuju pulau terluar, kapal ini juga membantu mengangkut hasil bumi yang melimpah. Salah satunya pisang kepok yang menjadi salah satu komoditi andalan di pulau ini yang kemudian dipasok ke berbagai daerah, seperti Sumatera Selatan, Jambi, Lampung hingga pulau Jawa.  




Pisang kepok Enggano diangkut oleh kapal Ferry


Setelah perjalanan pertama ke Enggano di tahun 2013 itu, saya kemudian sering berkunjung kesana untuk eksplore lebih banyak. Saya bahkan melakukan perjalanan seorang diri dengan mengandalkan KMP Pulo Tello karena asyiknya naik Ferry https://www.indonesiaferry.co.id/promoSaya yakin perjalanan dengan kapal ASDP ini memberikan rasa aman, nyaman dan lebih ekonomis. Dalam seminggu kapal ini melayani empat kali penyeberangan, yakni Selasa dan Jumat sore dari Kota Bengkulu menuju pulau Enggano sedangkan Rabu dan Sabtu sore untuk penyebarangan dari Enggano ke Kota Bengkulu. (Etri Hayati)  


Rabu, 09 Agustus 2017

Wara-wiri di Borobudur


Siapa sih yang nggak tahu Borobudur? Dulu sewaktu SD saya ingat betul kalau candi Borobudur merupakan satu dari tujuh keajaiban dunia. Bangunan megah dan relegius tersebut dengan mudah ditemui pada sampul buku atau pun menjadi bahasan dalam meteri pelajaran di sekolah. Kini Borobudur telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. So... kita sebagai orang Indonesia pasti bangga banget kan?

Saya sendiri sudah lama ingin mengunjungi situs sejarah yang fenomenal ini, bersyukur kesempatan tersebut saya dapatkan. Saya pertama kali menginjakan kaki di pelataran Borobudur pada 13 Februari 2017 lalu. Bersama tiga teman dari lainnya (kami dari Bengkulu) perjalanan ke Borobudur di mulai dari Yogyakarta, karena kami menginap di Kaliurang. Dengan menggunakan sepeda motor yang kami dapatkan dengan harga sewa sebesar Rp 50 ribu perhari, perjalanan dari Yogyakarta menuju Borobudur sekitar 1,5 jam. Waktu tempuh tersebut terbilang lama (karena banyak istirahatnya hehe), biasanya hanya sekitar satu jam saja.

Dan bagi yang belum ke Borobudur ini penting banget (saya sendiri baru tahu saat di Borobudur). Ternyata Borobudur berlokasi di Magelang, Jawa Tengah bukan di Yogyakarta seperti yang saya baca dari beberapa sumber. Memang Yogya dan Megelang berdampingan dan mayoritas mempunyai karekteristik yang sama, tapi beda provinsi ya...

So... lanjut cerita lagi ya... sesampainya di gerbang gapura Borobudur hawa terasa berbeda, apalagi di sisi kiri-kanan jalan terdapat persawahan yang cukup luas. Namun untuk memasuki komplek candi masih harus berkendara sekitar beberapa menit. 

Ternyata komplek Candi Borobudur ini cukup luas. Menuju pintu masuk terdapat gerai souvenir yang menyediakan aneka keperluan wisatawan mulai dari topi, kacamata hingga oleh-oleh bernuansa Borobudur. Saat itu kami tiba sekitar jam 10.00 WIB dan cuaca sangat terik. Awalnya kami ingin berjalan santai mengelilingi komplek candi, akhirnya membatalkan niat tersebut, dengan alasan menghemat energi haha... 

FYI, sebelum memasuki komplek candi ada beberapa aturan yang terpampang di layar pengumuman. Salah satunya mengenai larangan penggunaan drone di area candi. Saya sendiri membawa drone saat itu, niatnya sih mau ambil gambar candi dari sudut yang berbeda. Tapi sebagai pengunjung kita harus mematuhi aturan, jadi drone saya dianggurin aja pada waktu itu. Larangan penerbangan drone ini juga berlaku di Candi Prambanan, Candi Ijo dan candi lainnya. Bila tetap ingin mengambil gambar menggunakan drone untuk keperluan tertentu ada prosedur yang harus dijalani terlebih dahulu, seperti mengurus perizinan. 

Selain larangan membawa drone disini juga dilarang memanjat stupa, merokok, mencoret-coret bagian candi dan menggunakan busana minim seperti celana pendek dan rok pendek. Untuk menghormati tempat ibadah pengunjung yang datang dengan celana pendek atau rok pendek akan dipinjamkan kain untuk menutupi bagian tersebut. 

Setelah membayar retribusi yang kala itu sebesar Rp 30 ribu perorang (mungkin sekarang harganya sudah berbeda), kami melewati pemeriksaan barang bawaan, kami akhirnya memutuskan untuk menggunakan kereta taman agar perjalanan lebih cepat dan tidak kehausan. Tarif menaiki kereta taman ini sebesar Rp 7500 perorang, pengunjung juga diberi  sebotol air minerel berlabel “Borobudur”. Asyiknya dengan kereta ini pengunjung dapat mengelilingi taman dengan santai sambil merasakan asrinya pepohonan di sekitar. Hingga akhirnya tiba di pemberhentian yang tepat di depan pintu utama candi.

Sebelum menaiki tangga candi para petugas mengingatkan pengunjung yang mengenakan rok atau celana pendek untuk memakai sarung terlebih dahulu. Sarung yang dimaksud telah disedikan panitia dan harus dikembalikan setelahnya.

Cuaca yang terik membuat kami mengernyitkan kening dan menutupi kepala dengan telapak tangan. Beruntung disini ada penyewaan payung, cukup dengan bayar Rp 5000 penggunaan payung tanpa dibatasi waktu. Setelah digunakan payung tersebut dikembalikan pada petugas yang telah menunggu di pintu keluar.
Yup... kami pun menginjakkan kaki di Borobudur dan antusias menaiki anak tangga yang cukup tinggi satu demi satu, sambil sesekali meneguk air mineral. Dan inilah video kunjungan saya di Borobudur. So Amazing Borobudur...

Video Etri Hayati - Amazing Borobudur







Kamis, 26 Februari 2015

Jelajah Negeri Laskar Pelangi

 Masih ingat dengan film Laskar Pelangi yang direalis tahun 2008 hasil adaptasi dari novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata? Film bertema edukasi berlatar keindahan Pulau Belitong tersebut mendapat perhatian banyak pihak, bahkan hingga mancanegara. 
Beruntung, pada awal tahun 2013 lalu saya dan sahabat saya, Yuneri berkesempatan berkunjung ke Belitung dan bertemu langsung dengan Andrea Hirata. Tepatnya, di Museum Kata, Jalan Laskar Pelangi, Kecamatan Gantong, Belitung Timur. 
Kami ngobrol banyak, karena beliau memang orang yang sangat supel. Dimulai dengan menanyakan asal kami, hingga cerita tentang geliat pariwisata disana. Menurut Andrea,  sejak "meledaknya" film Laskar Pelangi, bila dipersentasekan, kunjungan wisata meningkat hingga 1.300 persen!!! 
 Hal tersebut dilihat dari banyaknya jumlah pengunjung yang bertandang ke Museum Kata dan SD Muhammadiyah (SD Laskar Pelangi) yang dikelola pihaknya. Terlebih, baru saja dilaksanakan Festival Laskar Pelangi di penghujung tahun 2012.
“Memang luar biasa sekali peningkatannya, banyak orang beranggapan itu karena saya. Tapi saya bilang ‘tidak’ karena itu adalah jasa Riri Riza sang sutradara film,” ujarnya. 

Bersama Andrea Hirata di Museum Kata




Pantai Dimana-mana!
Selama kami berada di Belitong, mengunjung banyak tempat terutama pantai. Belitung memiliki banyak pantai menawan dengan karekterisik berbeda. Seperti halnya Pantai Bukit Batu atau yang juga dikenal dengan sebutan Pantai Ahok, karena lokasinya berada di kampung halaman Basuki Tjahaja Purnama di Kecamatan Damar, Kabupeten Belitong Timur.  

Pantai Bukit Batu  (Pantai Ahok)

 Pantai ini berada di balik bukit dan di sekelilingnya terdapat banyak batu granit berukuran besar. Semua tersusun rapi, sehingga kami pun bertanya-tanya apakah batu-batu itu sengaja disusun atau tersusun dengan sendirinya. 




Pasir di Pantai Bukit Batu ini pun agak berbeda dengan pasir kebanyakan, karena strukturnya lebih kasar seperti butiran kerikil berwarna coklat muda.

Untuk melihat keindahan Pantai Bukit Batu pengunjung dikenakan retribusi sebesar Rp 5000 per orang. Tidak jauh dari Pantai Bukit Batu ada pula Pantai Burong Mandi. Kata 'Burong' sendiri artinya adalah Burung. Pantai tersebut berada di Kampong Burong Mandi.   Di tepian pantai berjejer perahu warna-warni mencolok dari kejauhan. 

Perahu nelayan berjejer rapi di tepi Pantai Burong Mandi

Masih berdekatan dengan Pantai Burong Mandi, pengunjung juga dapat singgah berwisata ke Vihara Dewi Kwan Im. Vihara tersebut adalah tempat peribadatan yang kini juga dijadikan tempat wisata.

Vihara Dewi Kwan Im
  

Pantai lain yang tak kalah indah adalah Pantai Tanjung Kelayang yang terletak di Kabupaten Belitong Barat. Jika di Pantai Bukit Batu terdapat pasir menyerupai kerikil, maka berbeda lagi dengan pasir di Pantai Tanjung Kelayang, karena pasir dipantai ini begitu halus dan putih  bersih. Saking halusnya pasir menyerupai tepung terigu, ketika kaki melangkah di hamparan pasir tersebut pasirnya terasa begitu lembut. 
 Dari Pantai Tanjung kelayang ini kita dapat memandang kearah lautan yang membentang luas diselingi gradasi air laut yang warna-warni mulai dari coklat muda, hijau, muad, hijau tua, biru muda hingga biru tua. Di tengahnya terdapat  gugusan pulau-pulau yang juga dijadikan tujuan wisata seperti halnya Pulau Lengkuas yang terkenal itu. 


Pulau Lengkuas

Mercusuar Pulau Lengkuas







 Pulau Lengkuas memang digemari, karena pengunjung dapat menikmati pemandangan luar biasa dari atas mercusuar peninggalan bangsa Belanda. Namun,  bagi pengunjung yang ingin menikmati pemadangan dari atas mercusuar diharapkan menyiapkan tenaga ekstra dan minuman pelepas dahaga. Karena mercusuar ini terdiri 18 lantai dimana pada setiap lantainya memiliki 17 anak tangga.

Pemandangan dari lantai teratas mercusuar


 Untuk menuju Pulau Lengkuas tidaklah sulit, kita cukup menyewa perahu motor seharga Rp 300- Rp 400 ribu untuk tiap perahu, dengan muatan maksimal 10 orang. Perahu motor sendiri mudah didapatkan di tepi Pantai Tanjung Kelayang, dimana para nelayan biasa mangkal. Jarak tempuh dari pantai menuju Pulau Lengkuas sekitar 30 menit saja. 
Pantai Pulau Lengkuas
  Selain melihat laut dari ketinggian, pengunjung juga dapat berjemur di tepi pantai, bahkan diving atau snorkling karena pantai ini juga terkenal dengan keanekaragaman biota lautnya. Tidak perlu pusing mencari perlengkapan diving atau snorkling, karena biasanya pemilik perahu sudah menyediakannya, tinggal tambah ongkos sewa saja. Perlu diketahui biasanya pelampung juga sudah disediakan dan pengunjung tidak perlu menyewa lagi, karena sudah termasuk ke dalam tarif sewa perahu motor.
Dalam perjalanan menuju Pulau Lengkuas kami menjumpai pulau-pulau lain yang juga dapat disinggahi, diantaranya Pulau Burong, dinamakan demikian karena di pulau itu terdapat batu besa tersusun rapi menyerupai kepala burung. Kemudian ada Pulau Babi, menurut pemilik perahu motor yang kami tumpangi, Pak Tris, dinamakan Pulau Babi, karena dulunya di pulau tersebut memang terdapat babi. 
Selanjutnya ada juga Pulau Pasir, yaitu berupa onggokan pasir di tengah lautan namun untuk berkunjung ke Pulau Pasir harus pagi hari dimana air laut sedang surut, jika pengunjung datang di atas jam 12.00 WIB, maka alamat akan kecewa karena air laut sudah pasang.
Pemilik perahu  biasanya akan menanyakan apakah pengunjung akan singgah ke pulau-pulau tersebut, karena dengan senang hati ia pun akan mengantarkan sekaligus menjadi guide. Namun jangan takut biayanya akan mahal, karena tarif Rp 300-Rp 400 ribu sudah termasuk biaya berkeliling pulau-pulau itu. 
Selain pantai dan pulau yang telah disebutkan diatas, masih banyak lagi tempat yang harus dikunjungi. Seperti halnya Pantai Tanjung Tinggi yang lokasinya tidak begitu jauh dari Pantai Tanjung Kelayang. Pantai Tanjung Tinggi ini mirip dengan Pantai Bukit Batu, bedanya batu-batu di Pantai Tanjung Tinggi ukurannya lebih besar dan jumlahnya lebih banyak. 

 Pantai ini dulunya dijadikan tempat syuting Film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi dimana adegan tokoh Ikal dan teman-temannya berlari-larian mengitari batu-batu raksasa tersebut. Warna air laut di pantai ini tetap mempesona dengan gradasi warna yang indah. Bagi para pegunjung yang ingin mengunjungi pantai-pantai di Belitung sebaiknya berkunjung pada saat cuaca cerah dan tidak hujan beberapa hari, sebab jika sebelumnya hujan maka gradasi warna tidak begitu tampak.


Replika SD Muhammadiyah
Selain wisata pantai pengunjung juga dapat menikmti wisata sejarah lainnya seperti museum dan makam-makam bersejarah. Termasuk  replika SD Muhammadiyah atau yang kini disebut juga SD Laskar Pelangi, sekolah yang dulunya tempat ibu Muslimah mengajar itu kini dapat dijumpai di Kecamatan Gantong Kabupaten Belitung Timur. 
SD Laskar Pelangi
SD Muhammadiyah dulunya adalah tempat sekolah Andrea Hirata. Konon, para pemuda dari Belitung adalah pemuda jenius karena kebanyakan dapat meraih gelar cumlaud. Para pemuda ini memang kebanyakan melanjutkan pendidikan ke luar pulau, terumata ke Pulau Jawa. Namun demikian mereka tidak lupa akan tempat kelahiran, karena setelah menyelesaikan pendidikan mereka akan pulang ke kampung halaman dan mengabdikan diri di tanah kelahiran mereka.

SD Laskar Pelangi
 Kondisi bangunan SD Muhammadiyah secara keseluruhan memang memprihatinkan, mulai dari bangunannya yang reyot, atap bolong, meja dan kursi yang lapuk serta dinding-dinding yang dimakan rayap. Sekolah tersebut hampir roboh, untuk membuatnya tidak roboh ditambahkan dua kayu besar sebagai penyanggah. Hingga saat ini pun replika sekolah tetap dibiarkan seperti aslinya. 
Bagian dalam sekolah
 Tidak jauh dai replika SD Muhammadiyah terdapat bendungan peninggalan zaman Belanda yang dikenal dengan Bendungan Pice. Saat ini Bendungan Pice juga dijadikan tempat berkumpul atau tempat nongkrong anak muda.
Bendungan Pice
Transportasi dan Penginapan
Sepertinya pemerintah Belitong sengaja mempertahankan keasrian alam, sehingga hingga kiia tidak ada transportasi seperti angkutan umum, kereta, becak atau lainnya. Namun demikian, untuk menuju suatu tempat ke tempat lainnya masyarakatnya setempat masing-masing memiliki alat transportasi sendiri seperti mobil, sepeda motor dan kereta angin atau yang kita kenal dengan sepeda.
Tapi jangan berpikir bahwa Belitung adalah pulau tertinggal, karena bagi wisatawan yang tidak dapat menggunakan transportasi seperti di tempat kebanyakan dapat menyewa mobil atau sepeda motor. Jasa penyewaan ini bisa didapat di hotel atau penginapan setempat. Harga sewa yang ditawarkan pun adalah harga standar, untuk mobil misalnya disewakan dengan harga mulai dari Rp 250 ribu per hari. Sedangkan motor dipatok seharga Rp 60 ribu perhari.
Bagi kalian yang berminat untuk berkunjung ke Belitung jalur yang ditempuh begitu mudah. Dapat menggunakan jasa transportasi udara maupun transportasi laut. Tetapi saran saya, jika ingin berkunjung ke Belitung harap memesan tiket jauh-jauh hari, karena seperti yang diuangkapkan diatas, kunjungan wisata ke belitung meningkat hingga 1.300 persen. Oleh karena itu pengunjung yang berkunjung ke Belitung rmai, apalagi pada hari libur. Dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta ke Bandara H.AS.Hanandjoeddin, Tanjung Pandan hanya menempuh 50 menit penerbangan.
Untuk pengunjung dari Sumatera yang ingin menempuh jalur laut dapat mencapai Belitong dengan menaiki Kapal Cepat (Jetfoil) di Pelabuhan Boom Baru Palembang, Sumatera Selatan dengan waktu tempuh tiga jam menuju Pelabuhan Mentok, Pulau Bangka. Selanjutnya, naik tarvel menuju Pelabuhan Pangkal Pinang selama tiga jam untuk kembali naik Jetfoil menuju Pelabuhan Tanjung Pandan Pulau Belitong. Perjalanan dari Pangkal Pinang ke Pelabuhan Tanjung Pandan menggunakan Jetfoil (kapal cepat) akan ditempuh selama empat jam. Jadi waktu tempuh menggunakan jasa Jetfoil kurang lebih selama 10 jam.
Namun waktu tempuh akan lebih lama jika berpergian dengan menyeberang menggunakan Kapal Feri. Karena dari Pelabuhan Boom Baru ke Pelabuhan Mentok Pulau Bangka saja akan memakan waktu 12 jam, belum ditambah perjalanan menyebrang ke Pulau Belitung.
Jangan takut tidak mendapat penginapan yang layak, karena di Belitung tersedia berbagai jenis penginapan dari hotel hingga resort mewah. Lokasinya pun bisa pilih sendiri, apakah di tepi pantai atau di atas bukit, seperti penginapan Bukit Samak yang berlokasi di Kecamatan Manggar, Belitung Timur. Tarif yang ditawarkan pun terjangkau, mulai dari Rp 250 ribu permalam, Rp 350 ribu dan sebagainya.

Etnis Melayu dan Tionghoa
Penduduk asli Belitung terdiri dari etnis Melayu dan Tionghoa, kedua etnis ini hidup berdampingan rukun dan damai. Dalam berkomunikasi sehari-harinya masyarakat Belitong menggunakan bahasa Melayu, jadi walau berbeda bahasa dan logat, namun pengunjung masih dapat memahami apa yang diucapkan masyarakat setempat.

Beragam Makanan Khas
Sama seperti daerah lainnya Belitung mememiliki makanan khas, karena secara gaeografis Belitung adalah wilayah kepulauan, maka makanan khasnya banyak berasal dari laut. Seperti halnya gulai rempah kuning dengan bumbu khas Belitung dimana masyarakat setempat menyebutnya Gangan. Uniknya lagi masyarakat Belitung hanya memakan makanan laut dan tidak memakan ikan sungai. Menurut warga setempat, hal itu dikarenakan ikan sungai dirasa lebih amis daripada ikan laut. Sehingga mereka jarang, bahkan tidak pernah memakan ikan sungai. 

Yang kerap dijadikan oleh-oleh adalah makanan kering seperti getas dan keripik dari buah sukun. Makanan khas lainnya yang tidak boleh terlewatkan adalah Belacan atau yang kita kenal dengan terasi. Di Belitung terasi tidak dikemas menggunakan plastik, melainkan menggunakan wadah yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai bakul yaitu wadah dari anyaman.  Harga jual terasi ini lumayan tinggi, karena berbeda dengan terasi lainnya, perkilo dijual dengan harga Rp 140 ribu. Terasi ini biasa dijual di Tanjung Pandan Belitung Barat atau di Pasar Lipat Kajang Kecamatan Manggar, Belitung Timur. Tapi perlu diingat pasar ini hanya buka di pagi hari, jangan sekali-kali datang siang hari karena pasar sudah tutup. 
Belacan khas Belitung

 Bakso adalah makanan yang disukai oleh hampir setiap orang. Di Belitung bakso mudah dijumpai, tetapi bukan bakso yang terbuat dari daging sapi, melainkan bakso ikan. Alasannya ya itu tadi, karena Belitung adalah wilayah maritim, maka hasil laut sungguh melimpah terutama ikan. Ikan pun dikelola sedemikian rupa menjadi aneka panganan, termasuk bakso.
Bakso ikan khas Belitong

Rujak “Aneh”
Jika pada umumnya rujak terbuat dari buah-buahan dengan bumbu kacang, gula merah dan cabe rawit, namun tidak demikian dengan rujak yang terdapat di Belitung. Karena menurut saya terlihat “aneh”, rujak disini adalah buah yang dimakan dengan hanya menggunakan garam. Tetapi garam yang dipakai bukan sembarang garam, melainkan garam Hamoy. 


 Garam ini adalah garam khas yang biasanya digunakan warga keturunan Tionghoa. Saat pertama kali mencoba rujak, lidah saya merasakan suatu yang berbeda, karena garam Hamoy memiliki sensasi rasa yang unik antara manis, asam, asin hingga sedikit rasa pahit yang berbaur jadi satu. Cara memakannya cukup dengan mencocolkan potongan buah ke garam.

Sayuran Mahal
Untuk makan sangat mudah ditemui di sini dan harganya pun standar, bahkan lebih murah dibanding harga makanan di tempat tinggal saya di Bengkulu. Yang mengagetkan adalah harga sayuran, karena  kondisi lahan di Belitung tidak mendukung menanam sayuran, maka menurut info yang saya terima dari pedagang setempat sayuran dipasok dari Pagar Alam, Sumatera Selatan. 

Suasana pasar pagi 

 Meski di Belitung ada juga petani sayuran, namun  harus berjuang keras menggarap lahan sehingga dapat ditanami sayuran seperti kangkung atau terong. Langkanya sayuran ini, menyebabkan harga jualnya pun melambung. Saya begitu kaget saat pedagang mengatakan bahwa harga sekilo sawi sebesar Rp 25 ribu.

1001 Warung Kopi
Ada kebiasaan masyarakat Belitong yang seakan membudaya yaitu minum kopi. Tradisi minum kopi tidak dilakukan di rumah, melainkan di warung kopi. Karena kebiaasaan masyarakat yang terus berkembang akhirnya munculah banyak warung kopi tepatnya berada di Kota Manggar di Belitung Timur. Oleh karena itu, Kota manggar dijuluki Kota 1001 Warung Kopi.


Walau namanya warung kopi, yang disediakan disana tidak hanya kopi melainkan berbagai jenis lainnya, seperti teh manis atau bahkan jus.  Warung kopi ini dijadikan tempat berkumpul, berdiskusi bahkan tempat bernegosiasi. Saking pentingnya arti warung kopi Andrea Hirata bahkan menceritakan warung kopi tersebut di beberapa tulisannya.

Dalam perjalanan ke Belitung ini saya dan Yuneri menemukan banyak hal baru, mulai dari beragam keunikan Belitong, hingga penduduknya yang ramah dan pemurah.  (Etri Hayati)