Rabu, 20 Juni 2018

Eksplore Enggano Bersama ASDP


Enggano yang merupakan pulau terluar yang masuk wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu,  memiliki keindahan alam yang memesona.  Sebagai orang Bengkulu saya memang sangat penasaran pada pulau tersebut, sehingga sedikit nekad untuk bertandang meski curi-curi waktu meninggalkan pekerjaan. Saya pertama kali tiba di Enggano pada 16 Agustus 2013 lalu. Saat itu saya tidak sendirian, karena ditemani sahabat, Kak Long, beserta adik saya, Rini.

Petualangan saya ke Enggano ini dimulai dengan menaiki Kapal Ferry KMP Pulo Tello yang dikelola oleh PT. Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Fery Cabang  Bengkulu. Menurut kami perjalanan dengan kapal Ferry adalah pilihan terbaik dibanding menggunakan pesawat. Pertama, lebih ekonomis karena biayanya jauh lebih murah dibanding naik pesawat. Kedua, kami bisa membawa barang yang lebih banyak termasuk dua sepeda motor. Space kapal ferry ini cukup luas dan mampu membawa kendaraan seperti sepeda motor, mobil, truk hingga alat berat.




Suasana persiapan sebelum pemberangkatan


Kami bertolak dari dermaga khusus ASDP di  pelabuhan Pulau Baai pada jam 17.00 WIB. Diawal perjalanan terasa tenang, namun karena tingginya gelombang laut kapal mulai bergoyang. Saya bahkan sempat dehidrasi, akibat kekurangan cairan sebagai dampak mabuk laut. Maklum saja saat itu adalah musim angin tenggara, sehingga kapal harus melawan arus saat pelayaran. Ditambah tingginya ombak yang mencapai lima meter.



Saat kapal mulai meninggalkan dermaga

Dalam perjalanan kapal bergoyang tak henti, penumpang pun sempoyongan. Perut saya berasa diaduk dan akhirnya terjadilah hal yang tidak diinginkan itu hahaha. Saya memang belum terbiasa naik kapal laut, perjalanan laut pertama kali saat penyeberangan dari Pelabuhan Boombaru Palembang ke Pulau Bangka dan Belitung. Namun kondisi laut disana sangat berbeda dengan laut Bengkulu dan tidak membuat saya mabuk.

Cuaca buruk mengakibatkan perjalanan menjadi lama. Perlu diketahui, Kota Bengkulu – Pulau Enggano berjarak 90 mil laut atau sekitar 145 kilometer. Pada keadaan normal perjalanan dapat ditempuh dalam waktu sembilan hingga sepulih jam, namun kala itu perjanan kami menjadi  17 jam.  Untungnya kapal ini juga memiliki tempat tidur sehingga saya bisa rebahan dengan nyaman dan mengurangi rasa pusing.

Tersedia tempat tidur nyaman bagi penumpang

Saat tiba di Pelabuhan Kahyapu sekitar jam 10.00 WIB. Badan terasa begitu lemas dan saya belum beranjak dari kapal. Padahal penumpang lain telah turun dan mengemasi barang-barang mereka. Tidak lama kemudian muncul seorang teman, Sahat namanya. Dia adalah penduduk asli Enggano. Sahat membantu kami mengemasi barang-barang hingga mengeluarkan motor dari dalam kapal.

Dari pelabuhan kami singgah sesaat di Pondok Rimba untuk memulihkan tenaga dan makan  siang, walaupun hanya mie instan. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Desa Malakoni sekitar jam 14.00 WIB dengan sepeda motor.  Saat itu kondisi saya belum begitu pulih, namun masih bisa mengendarai sepeda motor. Kami melewati jalan alternatif tepat di bibir pantai, sebab jalan utama tidak dapat dilewati  kerena berlumpur.

Jalan berlumpur menuju Desa Malakoni

 Jalan alternatif itu hanya hamparan pasir. Sebelum melewati jalan tersebut harus melihat arus pasang-surut terlebih dahulu, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Dalam keadaan normal dari pelabuhan Kahyapu ke Desa Malakoni biasanya dapat ditempuh dalam waktu 30 menit, karena melewati jalan alternatif waktu yang diperlukan sekitar satu jam.  Dengan kondisi jalan yang  belum maksimal, disarankan agar sebelum memutuskan berkunjung ke Enggano harus memilih waktu berkunjung pada musim panas. Alasan utamanya agar tidak terjebak lumpur.

Tiba di Malakoni sekitar jam 15.00 WIB,  Sahat membawa kami ke rumahnya, disana telah menunggu ayah dan  ibunya. Pak  Johansen Kaarubi begitu baik hati dan mengizinkan kami menginap di rumahnya. Pak Johansen merupakan Ketua Suku Kaudara Abobo yang merupakan Kepala Pintu dari suku Kaarubi. 

Bahagia akhirnya bisa menginjakan kaki di Enggano


Melihat keadaan kami,  ibu Johansen langsung menanyakan kondisi kami.  Saya jelaskan kalau saya masih merasa pusing dan perut terasa kurang nyaman, begitu pun dengan adik saya. Tidak lama kemudian dengan senang hati ibu Johansen memijit bagian pundakku, ajaibnya tidak lama kemudian badan menjadi fit seperti semula dan kami pun berlari-larian ke lapangan desa untuk mengikuti upacara penurunan bendera 17 Agustus. Disana kami bertemu kru ASDP yang juga mengikuti upacara. Saya baru tahu ternyata setiap Hari Ulang Tahun Republik Indonesia semua kru ASDP mengikuti upacara di pulau terluar Indonesia.

Upacara bendera 17 Agustus 


Foto bersama kru ASDP Cabang Bengkulu 


Masyarakat Adat Enggano

  Di Enggano terdapat enam suku, lima diantaranya adalah suku asli, meliputi Suku Ka’uno, Kaitora, Ka’ahua, Kaarubi dan Kaaruba. Sedangkan satu suku lainnya adalah suku yang diperuntukkan bagi masyarakat pendatang yang menetap disana, yakni Suku Ka’amay. Masyarakat Enggano dikenal sangat ramah dan terbuka pada pendatang. Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Enggano menggunakan bahasa Enggano, namun mereka juga dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.


Rumah Adat


Pantai enuh Serpihan Terumbu Karang
Pantai Malakoni berada hanya beberapa meter dari Pelabuhan Perintis di Desa Malakoni. Jika biasanya pantai dipenuhi pasir, maka tidak demikian dengan Pantai Malakoni. Karena di sepanjang pantai dipenuhi serpihan terumbu karang yang terbawa ombak. Jika berkunjung ke pantai ini disarankan untuk memakai alas kaki yang memadai, sebab hamparan terumbu karang di bibir pantai keras dan tajam, sehingga dapat melukai telapak kaki. Pantai Malakoni kaya akan hasil laut berupa ikan dan hewan laut lainnya seperti kepiting, lobster dan beberapa moluska. Selain sebagai sarana rekreasi, kawasan tersebut juga merupakan tempat para nelayan mencari ikan. Sayangnya, hingga saat ini objek wisata itu belum dikelola maksimal oleh pemerintah, sehingga keeksotisan pantai ini belum begitu dikenal masyarakat.
  



Menunggu sunset di pantai Malakoni


Ketika kami sibuk berfoto dan menikmati keindahan pantai, Sahat malah sibuk dengan tombaknya. Ia mendapatkan ikan dengan cara tradisonal, hanya dengan beberapa tombakan ia berhasil mendapatkan hampir dua kilogram ikan dan lobster. Hasil perburuan Sahat kami masak sebagai menu makan malam. Rasanya sungguh berbeda dengan ikan dan lobster yang kita temui di pasar, hasil tangkapan yang langsung dimasak rasanya jauh lebih segar dan manis.





Ikan dan lobster hasil tangkatan Sahat


Seru-seruan di Bakblau 
 Selain Pantai Malakoni, kami juga sempat menikmati keindahan Bakbalu di Desa Meok. Untuk mencapai lokasi kami harus melewati desa Apoho yang dapat ditempuh sekitar 15 menit dari desa Malakoni.  Menurut bahasa setempat  Bakblau diartikan sebagai dermaga berwarna hijau kebiru-biruan. Lokasi wisata itu memang agak tersembunyi, karena belum ada penunjuk arah. Meski demikian dapat ditanyakan langsung pada penduduk. 

 Untuk mencapai lokasi itu pemerintah setempat telah menyediakan jalan penghubung berupa pengerasan, hingga sepeda motor dapat dibawa serta ke tepi dermaga. Dari kejauhan panorama indah Bakblau pun mulai tampak, meski agak seram namun objek wisata itu tetap menyita perhatian. 

Kondisi jalan di Desa Meok



Menurut  cerita pak Johansen, kerap kali ada warga yang menemukan buaya di Bakblau. Meski demikian buaya tersebut tidak akan mengganggu pengunjung, bila pengunjung tidak berbuat kesalahan. Karenanya, pengunjung diharapkan tidak melakukan perbuatan tidak terpuji termasuk berkata sombong atau kotor saat berada disana.


Jatuh cinta pada Bakblau


Meski berwarna hijau kebiru-biruan bila didekati air Bakblau sangat jernih dan dihuni ikan kecil warna-warni. Saat itu pun ada seorang warga yang mengambil hasil tanggakapan dari perangkap ikan miliknya.  Tepi Bakblau banyak ditumbuhi bakau, pohon nipah maupun spesies pandan, yang dapat dijadikan anyaman tikar



 Kebun dan Anggrek

Hari berikutnya pak Johansen melakukan aktivitas seperti biasa, ia memiliki sebidang kebun coklat berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya. Sebelumnya pak Johansen tidak berkenan kami ikut serta, sebab menurutnya untuk sampai ke kebun harus melewati hutan dan semak belukar, banyak nyamuk dan pacat. Namun karena kami tidak mempermasalahkannya beliau pun berkenan mengajak kami. Beruntung kami tidak menemukan pacat, namun nyamuk yang berdengung di telingan memang cukup mengganggu, terlebih saat terkena gigitannya. 

Tiba di kebun pak Johansen bergegas memangkas dahan pohon coklat miliknya. Menurutnya bila terlalu rimbun coklat tidak dapat tumbuh dengan baik dan kualitas buahnya pun menurun. Pak Johansen yang juga penyuka anggrek itu juga menunjukkan bibit anggrek bulan yang banyak tumbuh di kebunnya. 

Saat berteduh di kebun Pak Johansen

 Kami berada di Enggano selama lima hari, kami pulang setelah kapal Pulo Tello kembali bersandar di pelabuhan Kahyapu. Kedatangan kapal dapat diketahui dari suara sirene yang melengking hingga ke kantor desa. Keberadaan kapal Ferry Pulo Tello sangat membantu warga Enggano, selain sebagai transportasi PP menuju pulau terluar, kapal ini juga membantu mengangkut hasil bumi yang melimpah. Salah satunya pisang kepok yang menjadi salah satu komoditi andalan di pulau ini yang kemudian dipasok ke berbagai daerah, seperti Sumatera Selatan, Jambi, Lampung hingga pulau Jawa.  




Pisang kepok Enggano diangkut oleh kapal Ferry


Setelah perjalanan pertama ke Enggano di tahun 2013 itu, saya kemudian sering berkunjung kesana untuk eksplore lebih banyak. Saya bahkan melakukan perjalanan seorang diri dengan mengandalkan KMP Pulo Tello karena asyiknya naik Ferry https://www.indonesiaferry.co.id/promoSaya yakin perjalanan dengan kapal ASDP ini memberikan rasa aman, nyaman dan lebih ekonomis. Dalam seminggu kapal ini melayani empat kali penyeberangan, yakni Selasa dan Jumat sore dari Kota Bengkulu menuju pulau Enggano sedangkan Rabu dan Sabtu sore untuk penyebarangan dari Enggano ke Kota Bengkulu. (Etri Hayati)